Beranda » Baca » Artikel » Cinta bertabur di langit jingga

Cinta bertabur di langit jingga

Cinta bertabur di langit jingga

Terkadang perasaan cinta itu muncul karena alasan absurd yang sulit diterima nalar. Misalnya sering di cie-kan oleh orang lain. Klise memang. Candaan bisa berdampak kuat. Tapi, itulah yang terjadi. Nayaka, pria blasteran Jepang ini menyukai Wulandari. Gadis berhijab yang selalu menundukkan wajah itu telah membuat dunia Nayaka jungkir balik. Dinding tinggi yang diciptakan Wulan, membuat para pria memutar otak untuk bisa mendekat. Kecerdasan, keanggunan dan kepiawaian dalam berorganisasi tak bisa dianggap remeh. Hal itu tak jarang membuat hati para gadis lain iri.

“Lan, I need your help. Can you help me?” Farin, gadis Jawa-Korea itu menepuk pelan bahu Wulan.

Wulan yang memang gemar membantu pun mengangguk tanpa ragu.

“I can help you. What I should for you?” jawabnya. Seringai kecil terlihat dari sudut bibir Farin.

“Aku gak ngerti materi kuliah hari ini. Bisakah menjelaskannya lagi?” pintanya. Lagi, Wulan mengangguk setuju.

Baru saja ia hendak membuka suara, Farin langsung menghentikannya.

“Not now. I have promise with my friend. Bisakah datang ke apartemenku?” pintanya yang lebih seperti memerintah.

“Okay. Aku akan ke tempatmu nanti sore,” jawab Wulan. Kemudian ia berlalu dari pandangan Farin. Sosok pria bertubuh tinggi datang menemuinya sepeninggal Wulan.

“Kamu jadi ke apartemenku hari ini, Nay?” Farin menggelayut manja pada lengan Nayaka.

Nayaka melepas tangan Farin. Menekuk wajah dalam lalu memalingkan wajah.

“Memangnya kenapa sih harus ke apartemen segala? Bukannya bisa di sini saja?” protes Nayaka.
Farin memberengut. Ia sengaja menyuruh Nayaka ke apartemen dengan alasan belajar. Di balik alasannya memang terselip suatu niat tersembunyi. Ia sudah berjuang selama ini demi mendapatkan perhatian Nayaka. Ia takkan menyerah sedikit pun. Tidak untuk saat ini. Selama ia masih mampu bertahan, maka akan selalu berusaha.

“Aku malu sama yang lain kalau di kampus. Kalau mereka menertawakanku karena tak mengerti materi kuliah gimana? Ayolah, Nay. Hanya untuk hari ini saja,” rengek Farin.

Nayaka bungkam. Pandangannya menyisir ke sekitar. Berbagai pasang mata menatap tajam ke arahnya. Sekilas tatapan Nayaka tertumbu pada sepasang mata yang menunduk setiap kali menatapnya. Hati Nayaka remuk. Tatapan gadis itu selalu berhasil menancapkan luka dalam hati. Seperti halnya Farin yang berjuang mendapatkan cinta, ia pun begitu. Tapi ia selalu terbanting dari ketinggian sebelum sempat mendekati sasaran. Ia seorang kristiani, sedang Wulan seorang islami. Itulah dinding tertinggi yang sulit dijangkaunya.

“Nay, kenapa malah bengong sih?” protes Farin.

Nayaka berdeham kecil. Menggaruk kecil bagian belakang kepala. Sesekali ia masih mencuri pandang pada sosok Wulan yang tersenyum pada teman gadis di sisinya. Farin kesal, lalu mencubit pinggang Nayaka. Mengaduh kemudian mengiyakan ajakan Farin setengah hati.

Perjalanan menuju apartemen memakan waktu kurang dari satu jam. Sepasang kaki panjang mulus berbalut rok mini turun dari baleno. Disusul kaki panjang pria dari balik kemudi. Senyum Farin mengalahkan terik mentari. Mengalirkan gairah pada tiap pasang mata, yang memuji keindahan liuk tubuhnya saat berjalan. Ia menguatkan pegangan tangan pada lengan Nayaka. Seolah ingin menunjukkan pada dunia bahwa sosok rupawan di sisinya adalah milik ia seorang. Tak ada wanita lain yang berhak atas diri Nayaka selain dia.

“Mari, masuk!” ajak Farin. Nayaka melengos.
Mendahului langkah panjang Farin sebelum menggandeng tangannya seperti pada orang sakit. Pintu dibiarkan terbuka lebar. Hawa dingin menyeruak masuk.

“Kenapa sepi sekali? Ke mana yang lain?” komentar Nayaka. Pandangannya menyusuri tiap sudut ruangan.

“Siapa yang kau tanyakan? Aku sendirian di sini. Kedua orangtuaku sibuk dengan bisnis mereka di Korea,” jawab Farin.

Risih. Itulah yang bersembunyi di balik naluri kelelakian Nayaka. Farin terkikik. Melepas cardigan yang menutupi kaos tak berlengan.

“Apa yang kau lakukan? Pakai lagi!” perintah Nayaka. Memakaikan lagi kardigan merah muda. Farin menolak. Melemparkan kardigan ke atas sofa.

“Aku kepanasan,” akunya.
Nayaka mendengus sebal lalu membuka diktat kuliah. Tak ia hiraukan ucapan Farin yang menawarkan minuman untuknya. Satu hal yang ia inginkan adalah segera keluar dari tempat ini. Selama pembelajaran berlangsung, Farin tak bisa menghilangkan kesempatan langka. Entah itu sengaja menggenggam tangan Nayaka atupun memandanginya.

“Nay...,” gumam Farin. Menancapkan tatapan tajam menggoda. Nayaka mengangkat kepala dari diktat. Menaikan sepasang alis pekatnya.

“Aku menyukaimu. Semenjak kau menginjakkan kaki di kampus,” aku Farin.


“Kita tak sedang berkencan, Rin. Jadi berhenti mengatakan omong kosong!” sanggah Nayaka. Farin mendengus sebal. Beranjak dari tempat duduk.

“Ini bukan omong kosong! Aku sungguh menyukaimu! Sebelum oranglain memojokkan hubunganmu dengan Wulan. Bahkan sebelum kau mulai termakan candaan mereka tentang gadis itu!” Farin mulai kehilangan kontrol.

“Sebaiknya kau cari teman lain untuk membantumu. Aku pulang!” jawab Nayaka. Merapikan diktat lalu beranjak dari tempat duduknya. Tangan Farin menyambar diktat Nayaka hingga berhamburan. Tubuh jangkung Nayaka berbalik dan menatap tajam.

“Kenapa kau selalu mengacuhkanku? Apa aku kurang cantik? Kurang seksi? Memangnya apa yang dimiliki gadis itu sampai kau mengabaikanku?”protes Farin.

“Cukup, Rin! Kau mulai keterlaluan. Ini tak ada hubungannya dengan dia!” bela Nayaka.

Farin tak peduli. Ia menghambur dalam pelukan Nayaka. Mengeratkan pelukan meski berkali dilepaskan Nayaka. Ego Farin tertantang. Sebentuk hati mulai terluka atas penolakan Nayaka. Tanpa berpikir panjang, ia mencium bibir Nayaka. Amarah, kesal, terluka dan terabai melebur dalam lumatan.

Brakk! Diktat jatuh bebas di atas lantai. Sosok berjilbab biru muda memunguti diktat yang berhamburan. Tangannya gemetar seraya berucap istigfar berulang-ulang.Kesempatan itu digunakan Nayaka untuk mendorong tubuh Farin yang mendekapnya erat. Farin terjengkang ke atas sofa.

“Maaf, saya tidak bermaksud mengganggu kalian. Harusnya saya datang lainkali saja. Permisi,” ujar Wulan.

Nayaka pias. Berbanding terbalik dengan mimik Farin yang tersenyum puas. Ia melipat kedua tangan di depan dada. Tatapan angkuhnya memandang rendah pada Wulan yang berlalu. Nayaka mengumpatnya kasar kemudian mengejar Wulan.

“Lan, wait me!” teriak Nayaka.
Wulan cuek, semakin mempercepat langkah. Hatinya gemuruh mengingat pemandangan yang baru ia lihat. Kembali ia beristigfar. Tangan Nayaka menarik lengan Wulan tiba-tiba.

“Jangan menyentuhku!” komentar Wulan setengah teriak.

Menepis kasar tangan Nayaka. Sontak ia melepas pegangan tangannya.

“Aku minta maaf, Lan. Tapi aku merasa harus menjelaskan kalau yang kamu lihat barusan tak seperti yang kaukira,” terang Nayaka.

“Tak ada yang harus kaujelaskan. Itu kehidupan kalian, tak ada hubungannya denganku. Hanya mataku tak biasa melihat pemandangan tak senonoh. Dan itu membuatku terganggu.”

Wulan tak acuh. Memalingkan wajah kemudian berlalu sebelum Nayaka berkomentar.

“Lan, demi Tuhan aku tak memiliki hubungan apapun dengannya. Asal kautahu, hanya kaulah yang kusukai,” bela Nayaka.

Wulan masih cuek. Ekspresi yang sama setiapkali mendengar ungkapan cinta dari pria yang mengejarnya. Kesabaran Nayaka mulai terganggu. Ia menghentikan langkah Wulan. Merentangkan kedua tangan di depan gadis berhijab itu.

“Lan, aku serius menyukaimu. Aku ingin menjadikanmu sebagai isteriku,” tegas Nayaka.

Pandangan Wulan menyisir keramaian jalan. Ia sadar hal ini akan terus berlangsung sebelum Nayaka mendapatkan keinginannya.

“Kaubilang isteri? Tidakkah ucapanmu terlalu mengada-ada? Jangan pernah meminta hal yang takkan bisa kuberikan!” balas Wulan. Nayaka masih belum menyerah. Ia masih menghadang langkah Wulan.

“Aku sanggup melakukan apapun demi menikahimu! Termasuk mengubah keyakinanku!” Nayaka keukeuh.

“Kalau begitu buktikan! Sorry, aku tak ingin terlibat lagi omong kosong ini. Jadi, tolong biarkan aku pergi,” ujar Wulan. Nayaka mengangguk pasrah. Menurunkan kedua tangan dan membiarkan Wulan menjauh dari pandangan.

Beberapa hari berlalu semenjak itu. Nayaka tak terlihat batang hidungnya. Wulan menggelengkan kepala. Ia menolak tuduhan Farin yang mengatakan penyebab menghilangnya Nayaka. Merasa tak perlu menanggapi, Wulan berlalu dari hadapan Farin. Langkah Wulan terhenti. Membeku, menatap tak percaya sosok yang berdiri menghentikannya. Pria yang menghilang tanpa jejak itu kembali. Peci bulat berwarna putih tertengger di kepala. Lucu, itu kesan pertama yang ditangkap Wulan.

“Lan, kupenuhi janjiku. Sekarang giliranmu,” ujar Nayaka.

Semua orang berkerumun. Sibuk menerka dan berasumsi terhadap penglihatan mereka. Kasak-kusuk terdengar mengganggu. Kembali, Wulan dan Nayaka dihadapkan dengan godaan dan siulan mereka. Wulan masih membeku. Godaan tak membuat riuknya berubah.

“Aku sudah mengubah hal mustahil menjadi mungkin. Merobohkan dinding tertinggi hanya untuk bersamamu. Demi kamu, aku meninggalkan jubah keyakinan lama. Sekarang giliranmu memenuhi janji,” lanjut Nayaka.

Wulan tergugu. Farin muncul menyibak kerumunan. Mata sipitnya membulat. Menatap tak percaya dengan sosok yang ia kenal meski berubah penampilan.

“Nay, apa kamu mengubah keyakinan?” selidik Farin.
Nayaka mengangguk mantap.

Farin berdecak tak percaya. Mendesis lalu meninggalkan pemandangan yang membuatnya jijik. Kembali, Nayaka mempertanyakan keputusan Wulan yang masih menggantung harapannya.

“Maukah kamu menunjukkan jalan terang? Membimbingku menuju ridho Tuhanmu? Aku membutuhkanmu, Lan,” lanjutnya.

Selama beberapa saat, Wulan sibuk berdebat dengan hati dan pikiran. Tatapan sayu dan penuh harap Nayaka mengubah keputusannya. Ia pun mengangguk kecil lalu mengajak Nayaka menemui kedua orangtuanya. Kembali, keyakinan teguh Nayaka memberikan dampak positif. Ia diterima dengan tangan terbuka oleh kedua orangtua Wulan. Pernikahan pun dilangsungkan tak lama setelahnya.

Langit senja berubah keemasan. Pandangan Wulan menerobos jendela. Dedaunan bergoyang tertiup angin. Tangan kokoh menyentuh bahunya. Ia berpaling menatap sosok yang tersenyum manis. Menyentuh bonggol tangan itu lalu menciumnya. Pria itu, Nayaka. Tersenyum membelai pipi Wulan lalu mencium keningnya. Selama ini, Wulan memiliki perasaan yang sama dengannya. Sebagai seorang wanita ia memilih diam dan membiarkan takdir menunjukkan jalan. Kesabaran akhirnya mempersatukan hati keduanya.

Dibaca 1x


Warning...!!!

Halaman ini di lindungi oleh Admin..

Kembali ke Beranda Atau hubungi FB Admin.

Terimakasih sudah nyasar di mari.